Sabtu, 03 Desember 2016

Profil BKM

bagaimanakah profil lengkap BKM Sekar Asri Makmur? Lebih lengkap silakan KLIK DISINI

Masjid dan Gerakan Kota Tanpa Kumuh

Bagaimana jika Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) berkolaborasi dengan rumah ibadah, seperti masjid? Bagaimana jika masjid dijadikan sebagai salah satu poros gerakan penataan lingkungan permukiman kumuh, mengingat dalam konteks ini, keduanya punya semangat yang sama, yaitu mewujudkan lingkungan bersih dan layak huni. Setidaknya itu yang terungkap dalam talk show yang disiarkan salah satu televisi swasta di Surabaya. Diskusi yang diisi oleh narasumber Team Leader (TL) OSP 6 KOTAKU Provinsi Jawa Timur Pranata Putra, Kasatker PKP Jawa Timur Indriati Listyorini dan Ketua LTMNU Jawa Timur KH. Fuad Anwar beberapa waktu lalu.
Saat itu, menurut KH Fuad Anwar, takmir masjid Jawa Timur mempunyai Program 1000 Masjid Bersih. Tentu tidak hanya masjidnya saja, melainkan lingkungan di sekitar masjid juga harus bersih. Lingkungan di sini dalam pengertian jalan, drainase, sanitasi dan sampah di sekitar kawasan kampung menuju masjid.
Mengolaborasikan KOTAKU dengan Program 1000 Masjid Bersih bukan berarti menumbuhkan semangat sekterianisme, sebab tujuan utamanya adalah membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap lingkungan sekitar, yang bersifat kultural dengan instrumen masjid sebagai titik masuk (entry point).
Kesadaran yang dibangun tidak hanya melalui skema program melainkan lewat gerakan-gerakan kultural di berbagai aktivitas masjid. Bukankan kesadaran adalah proses kerja berkelanjutan dan dapat dibangun melalui media apa saja yang memungkin untuk itu, termasuk media masjid. Bangunan kesadaran kultural biasanya lebih kuat dan langgeng dibanding kesadaran program.
Implementasi penataan lingkungan kumuh melalui KOTAKU perlu bertransformasi dari kesadaran program menjadi kesadaran gerakan. Sebab jika sebatas program, kesadaran yang terbangun adalah kamuflase, untuk tidak mengatakan sebagai kesadaran semu.
Menjadikan masjid sebagai entry point gerakan lingkungan tanpa kumuh menemukan signifikansi karena beberapa hal. Pertama, masjid memiliki modal kepercayaan (trust) di masyarakat yang cukup kuat dan sejauh ini belum ternodai. Manajemen masjid cukup sederhana namun transparan. Dalam bidang keuangan, misalnya, masjid-masjid secara berkala—biasanya setiap Jumat—mengumumkan pemasukan, pengeluaran dan saldo terakhirnya. Tradisi ini pada tahap tertentu dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu masjid dapat menjadi institusi yang relatif independen khususnya dalam hal pendanaan. Masjid mampu membangun sarana dan prasana tanpa mengandalkan bantuan pemerintah. Kepercayaan dan indepensi yang mungkin dewasa ini hilang dari kebanyakan lembaga-lembaga sosial masih kuat dimiliki masjid.
Kedua, masjid memiliki solidaritas komunitas cukup tinggi. Terlebih di masjid-masjid yang memiliki tradisi keagamaan sama, biasanya rasa solidaritas jauh lebih kental. Bila ada jamaah yang dalam 1-2 hari tidak kelihatan, segera bisa diketahui dia sedang sakit atau ada halangan tertentu. Dan, bila diketahui sakit maka segera ada tindakan bersilaturahmi atau memberikan bantuan sekedarnya. Dengan demikian benar yang dikatakan Arif Afandi dalam tulisannya di media nasional bahwa masjid bisa menjadi pendeteksi paling valid keadaan masyarakat, terutama di komunitasnya. Persoalan-persoalan di masyarakat bisa segera diketahui lewat intensitas komunikasi yang dibangun setiap saat. Akan tetapi sejauh ini bangunan solidaritas baru sebatas pada aspek moral dan personal.
Dimensi solidaritas belum mengarah pada persoalan-persoalan publik. Kendati sudah ada masjid dengan program santunan dan beasiswa anak tidak mampu, ini masih relatif sedikit dibandingkan jumlah masjid yang ada. Selain itu program-programnya masih bersifat tentatif dan belum sustainable. Melalui kerja kolaborasi akan dapat mendorong semangat solidaritas masjid ke arah lebih luas yaitu kepedulian-kepedulian terhadap penataan lingkungan kumuh.
Ketiga, masjid memiliki jejaring (networking) cukup kuat. Pada masjid-masjid yang punya kedekatan kultur keagamaan tertentu telah terjalin koordinasi dan komunikasi yang intens. Namun, sejauh ini intensitas koordinasi masih berhenti di aspek-aspek ubudiyah, sehingga fungsi jejaring masjid masih perlu diperluas dimensi dan substansinya. Proses pertukaran informasi tentang program-program pemerintah juga dapat dilakukan lewat masjid. Dengan demikian tingkat kemanfaatan masjid jauh lebih luas tidak sebatas urusan ubudiyah melainkan juga persoalan-persoalan publik di sekitarnya.
Trust, solidarity dan network sebagai bentuk modal sosial (social capital) masjid memerlukan sentuhan pengembangan dari berbagai arah, termasuk dari gerakan kota tanpa kumuh. Hubungan simbiosis mutualisme akan terjalin jika hal itu bisa direasilisasikan. Terhadap masjid memperoleh keutamaan setidaknya untuk dua hal: Pertama, masjid dapat memperluas fungsi kemanfaatannya pada persoalan-persoalan publik yang terjadi di sekitarnya. Kedua, masjid dapat mengembalikan fungsi utamanya sebagai pusat gerakan kemaslahatan umat, dan dengan demikian kesan tentang masjid hanya sebatas tempat melaksanakan amalaiyah ubudiyah dapat dikikis.
Sementara di sisi lain, melalui kolaborasi, KOTAKU dapat mentransformasi proses kesadaran penataan lingkungan dari tahap kesadaran program menjadi kesadaran gerakan. Pelaku di tingkat lapangan akan memiliki kesadaran spiritual baru tentang kepedulian lingkungan. Semangat kepedulian terhadap lingkungan bukan semata-mata urusan perintah program, melainkan karena dorong kesadaran kultur keagamaan segera bisa terbangun. Lebih dari itu semua kolaborasi ini akan memberikan kontribusi pada kemaslahatan umat secara nyata. Aamiin..

Lokakarya Strategi Komunikasi Program KOTAKU Provinsi Sumatera Barat

Sebagai pemimpin, yang harus dilakukan adalah memberikan kepastian dan keyakinan. Jangan sampai ada dalam pemikiran masyarakat, setelah lingkungannya dibangun dan ditata mereka malah tersingkir dari lahan tersebut, tempat usahanya jadi hilang dan kerugian-kerugian lainnya. Ini yang harus didiskusikan sejak awal. Karena, salah satu kata kunci pembangunan adalah memberi kepastian dan keyakinan kepada masyarakat. Setelah penataan dan peningkatan pembangunan ini nantinya mereka akan dapat apa, atau kongkritnya keuntungan apa yang akan mereka dapatkan.
Hal tersebut ditegaskan oleh Wali Kota Padang Mahyeldi saat menghadiri acara Lokakarya Strategi Komunikasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Provinsi Sumatera Barat, di Hotel Bumi Minang, pada 2-3 November 2016. “Maka saya, sebagai wali kota, dalam melakukan penataan satu kawasan biasanya dimulai dengan makan bersama. Lalu mereka melakukan pembongkaran sendiri, dan setelah selesai juga diakhiri dengan makan bersama. Jadi kita melakukan penertiban dengan santun, berbudaya dan manusiawi. Inilah yang membuat kami tetap bersemangat membangun bangsa ini dari daerah (kabupaten/kota) bersama masayarakat,” kata Mahyeldi.
Menurut wali kota, copet saja ternyata ada “backing”-nya. Faktanya, setiap ada permasalahan yang tidak sesuai dengan aturan, tapi terjadi terus menerus, berarti ada yang mem-“backing” permasalahan tersebut. Kemudian ia menceritakan pengalamannya saat menata kawasan pantai Padang. Di sana banyak sekali perumahan dan kawasan permukiman kumuh, tapi dengan pendekatan pada masyarakat dan tokoh-tokoh yang ada, kini Pantai Padang tertata dengan baik.
Kata kunci lain dari lancarnya penataan tersebut, lanjut wali kota, adalah faktor izin dari Allah. Karena, setelah selesai penataan sebuah kawasan ada dua hal yang keluar dari mulut masyarakat. Pertama, terima kasih dan yang kedua adalah air mata. “Dan, saya sangat yakin, doa yang tulus dari masyarakat, dengan deraian air mata adalah doa yang diijabah oleh Allah, SWT. Dengan modal inilah saya tetap bersemangat melaksanakan pembangunan bersama masyarakat dan sampai saat ini masih lancar-lancar saja. Malah saya banyak mendapat tantangan dari bawahan dan pihak lain, yang selama ini diuntungkan dengan kekumuhan dan ketidakteraturan,” tutur dia.